Menurut tuturan riwayat yang diwariskan secara turun-temurun di kalangan senimannya, bengberokan adalah warisan Pangeran Korowelang atau Pangeran Mina, seorang penguasa laut Jawa di wilayah Cirebon dan Indramayu. Namun terdapat pula tuturan yang juga diwariskan di kalangan seniman berokan, bahwa berokan merupakan kreasi Mbah Kuwu Pangeran Cakrabuana, ketika menyebarkan syiar Islam ke wilayah Galuh, sebagaimana yang dilakukan oleh para wali, menggunakan pertunjukan sebagai media syiar agama, ditujukan agar dapat mudah diterima lingkungan budaya pada saat itu.
Ada pendapat bahwa kata berokan berasal dari kata "barokahan" (keselamatan). Namun nampaknya keterangan tersebut hanya sebuah kirata (bahasa Sunda, yang artinya dikira-kira namun tampak nyata), sebuah gejala yang umum terjadi di dalam penamaan jenis seni rakyat.
Bentuk kesenian
Bentuk berokan yang dekat dengan bentuk-bentuk mitis totemistik dari binatang seperti buaya, wajah raksasa, dll., menunjukkan adaptasi budaya tersebut.
Pertunjukan berokan ini sangat populer di wilayah Cirebon dan Indramayu. Pada awalnya dilakukan sebagai bagian dari upacara ruwatan dalam menanggulangi pageblug (epidemi penyakit), menempati rumah baru, dll. Namun demikian, dewasa ini pertunjukan burokan lebih banyak dipakai dalam memeriahkan pesta khitanan atau perkawinan.
Bengberokan dimainkan juga pada upacara Ngunjung Buyut, yaitu upacara untuk menghormati arwah leluhur di pekuburan desa-desa tertentu. Bengberokan merupakan kedok yang dibuat dari kayu, yang bentuknya mirip dengan buaya. Warna kedoknya merah dengan mata besar yang menyala, dengan mulut dapat digerakkan (dibuka–tutup) sehingga menghasilkan bunyi "plak-plok". Tubuhnya terbuat dari bekas karung beras yang dijahit sedemikian rupa sehingga mampu menutupi pemainnya, dan mengesankan tubuh binatang yang besar dan berbulu (ditambahi ijuk dan serpihan tambang), kemudian disambung kayu yang dibuat mirip seperti ekor dengan warna belang-belang merah putih, runcing sehingga ujungnya mirip ekor ikan cucut. Berokan biasanya dimainkan secara bergantian.
Pada umumnya para pemain berokan adalah laki-laki. Untuk melibatkan penonton, Berokan digerak-gerakan dengan lincah, kedoknya dimainkan seakan-akan mau mengigit penonton. Efek spontanitas ketakutan penonton (terutama anak-anak) dimanfaatkan oleh pemain Berokan untuk semakin garang dan menghibur.
Pertunjukan Berokan diawali dengan tetalu dan kidung dalam bahasa ibu (Indramayu atau Cirebon), dilanjutkan dengan tarian Berokan yang lambat, perlahan-lahan untuk kemudian menjadi naik turun dan bergairah. Pertunjukan Berokan akan lebih menarik lagi, jika dimainkan di atas pecahan kaca (beling) dan menari-nari di atas bara api. Apabila pertunjukan Berokan dikaitkan dengan upacara tertentu, biasanya dilakukan Kirab Sawan, yakni upacara penyembuhan atau untuk keselamatan dan keberkahan. Kirab Sawan dilakukan setelah sesajen dan persyaratan lainnya lengkap.
Musik pengiring Berokan sangatlah sederhana, terdiri dari kendang, terebang, kecrek, dan bende (gong kecil) yang dimainkan oleh enam orang. Musiknya memang terasa monoton, namun demikian dinamika kadangkala muncul dari kendang dan kecrek, bersahutan dengan suara plak-plok dari kepala Berokan yang terbuka dan tertutup.
Makna
Ada beberapa makna yang dapat disimpulkan dari pertunjukan Berokan ini:
• Makna mitis yaitu sebagai media penolak bala yang menjadi awal mula fungsi Berokan. Dengan mempertunjukan Berokan, dipercayai bahwa bala telah ditolak, dan dipercayai akan mendatangkan kebahagiaan.
• Makna sinkretis karena Berokan digunakan sebagai media dakwah pada masa awal penyebaran syiar Islam di wilayah Cirebon.
• Makna teatrikal karena Berokan beraksi menari, mengejar, dan memainkan kepalanya serta berbaur dengan spontanitas penonton yang merasa takut bercampur gembira
• Makna universal, karena Berokan memiliki kemiripan bentuk dengan Barongsay dan Chilin dari Tiongkok, mahluk-mahluk naga dari Eropa Purba.
Salah satu kelompok Berokan yang dewasa ini masih tetap berdaya, adalah kelompok Berokan yang dipimpin oleh Mama Taham dari desa Tambi Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu.
Sumber